Jumat, 30 Mei 2014

PARADIGMA HRD DI TAHUN MENDATANG



Paradigma Human Resource (HR) Sesungguhnya
Akhir-akhir ini pembahasan mengenai fungsi HR yang sesungguhnya cukup menarik. Tentu bagi praktisi dan pelaku di dunia HR memahami arti dan makna keberadaan HR di tengah perusahaan. Namun mungkin tidak bagi SDM atau karyawan. Satu sisi pandangan umum karyawan masih melihat HR hanya sebatas mengelola administrasi, mutasi, penggajian, komisi dan segala hal yang berbau reward dan punishment. Gambaran ini sampai hari ini pun masih dirasakan oleh hampir sebagai karyawan di perusahaan-perusahanan tertentu. Saya katakan tidak semua perusahaan. Toh disaat dunia perlahan-lahan mulai berubah, tentu diikuti pula dengan perubahan kebijakan untuk serius menggarap HR menjadi tulang punggung dan jembatan bagi karyawannya.
Bagi perusahaan yang melihat sebuah perubahan sebagai langkah lebih maju, maka HR menjadi salah satu cara melihat begitu banyaknya talent maupun potensi yang bisa dikembangkan dari karyawan. Tetapi bagi perusahaan yang masih terperangkap dalam paradigm lama mengenai HR, kemungkinan besar merefleksikan perilaku sesungguhnya wajah HR. Yaitu dipandang sebagai department yang senang untuk menjatuhkan kesalahan atau memberikan surat peringatan (SP). Cara pandang SDM terhadap HR tidak serta merta merupakan kesalahan karyawan tersebut, melainkan sikap negatif yang tumbuh dari karyawan, sebenarnya adalah muara dari apa yang HR sendiri lakukan. Kadang orang-orang HR pun juga timbul prasangka-prasangka yang tidak selamanya benar. Pada akhirnya perlahan namun pasti sehingga tumbuh suatu gap yang menganga lebar. Ujung-ujungnya adalah ketidakpercayaan.

Nah ketidak percayaan ini lambat laun menjadi boomerang bagi perusahaan sendiri. Jadi bagaimanapun perlu komunikasi antara karyawan dengan HR selayaknya dibangun berdasarkan saling pengertian. Memang tidak mudah merubah paradigm yang sudah mendarah daging. Barangkali ini menjadi modal untuk memulai kembali saling kerjasama dan terbuka sehingga bisa menguntungkan kedua belah pihak. Ya siapa lagi kalau bukan HR yang menjadi tempat berkeluh kesah karyawan. Ambil contoh seandainya ada keluhan yang muncul dari SDM, maka peran HR siap untuk menampung dan mengevaluasinya. Bukan malah memberikan cap negatif kepada SDM yang menyampaikannya. Contoh selain itu adalah mengfungsikan HR sebagai tempat untuk mengkonsultasikan setiap masalah yang ditemukan dan membantu menyelesaikannya. Oleh karena itu tugas organisasi lah bagaimana supaya HR dipribumisasikan sehingga dipandang sebagai perantara bagi terciptanya hubungan positif antara SDM dan Manajemen. Banyak sisi positif bisa diperoleh dari pengelolaan HR yang baik tentunya. Tinggal bagaimana saat ini, menguraikan terlebih dahulu tujuan dan fungsi serta manfaat yang diperoleh bagi SDM. Tentu gambaran konvensional HR pelan-pelan mulai di 

sosialisasikan kepada SDM. Pointnya dimulai dari
- Membangun kesepakatan bersama antara manajemen (owner) untuk tujuan dan keberadaan HR
- Mensosialisasikan paradigm baru kepada SDM
- Menciptakan suasana terbuka, agar SDM senantiasa antusias untuk mensharingkan dan menyelesaikan setiap masalah yang ada
- Membuat aktifitas di luar kantor sehingga menciptakan suasana akrab dan menghilangkan prasangka-prasangka negatif keduanya seperti gathering dsbnya.
- Menciptakan value service supaya dipahami oleh semua pihak. Harus diingat bahwa kehadiran kita di dalam organisasi adalah saling melayani. HR melayani SDM begitupun sebaliknya.
- Setiap orang yang ada di dalam HR dibekali mindset bahwa HR memunyai tugas bukan saja admisnistratif melainkan strategis. Memunyai posisi yang penting di tengah organisasi. Yaitu mengelola, menganalisa, menemukan talent dan mengembangkannya.
Dimuat dimajalah MDI News Oktober 2013


Sebuah contoh perbaikan paradigma telah dilakukan oleh sebuah perusahaan retail, Sears yang  telah menyatakan visinya dengan inspiratif.  Bagi Sears untuk menjadi tempat yang sulit ditolak investor, perusahaan mula-mula harus menjadi tempat berbelanja yang sulit ditolak. Agar menjadi tempat berbelanja yang sulit ditolak  perusahaan harus menjadi tempat bekerja yang sulit ditolak.  Jadi bagi Sears menjadi perusahaan tempat bekerja yang sulit ditolak merupakan sarana untuk menjadi perusahaan yang sulit ditolak Investor. Beberapa perusahaan – perusahaan blue chip di Indonesia telah lama menempatkan SDM sebagai sebuah aset, sebutlah sebuah grup Astra.  Salah satu faktor utama yang menjadi kunci sukses perusahaan adalah bagaimana mengelola intangible asset tersebut menjadi sebuah tangible asset. Namun mengelola intangible asset menjadi sebuah tangible asset bukanlah sesuatu yang mudah.

Dave Ulrich salah satu Guru manajemen SDM mengatakan bahwa hal pertama yang paling penting adalah mengubah paradigma tentang peran Departemen SDM. Peran departemen SDM sudah harus melakukan pergeseran dari peran tradisional yang hanya sebagai “administrasi ekspert” atau pengelola fungsi-fungsi administrasi SDM, menjadi peran yang lebih tinggi lagi yaitu sebagai “strategic partner”, atau partner perusahaan dalam mengelola strategi. Dengan adanya peran baru tersebut diperlukan sebuah penyelarasan. Departemen SDM tidak hanya dituntut untuk mengelola fungsi-fungsi departemen SDM saja, tetapi juga harus mengetahui arah dan strategi perusahaan serta hubungan antara fungsi-fungsi SDM secara langsung dengan strategi dan tujuan perusahaan tersebut sehingga dapat menyelaraskan kebutuhan perusahaan untuk mengeksekusi strateginya dengan fungsi-fungsi departemen SDM.

Peran dan fungsi sebagai “strategic partner”, yaitu menelaah keterkaitan antara strategi perusahaan dengan fungsi-fungsi yang bisa dilakukan oleh divisi SDM, memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pencapaian kinerja perusahaan secara sistematis melalui alat yang terukur.  Bagi perusahaan yang telah mengimplementasikan “Balanced Scorecard”, membuat alat ukur kinerja divisi SDM atau HR Scorecard yang berkaitan langsung dengan kinerja perusahaan adalah keharusan.  HR Scorecard menggambarkan bagaimana peta strategi departemen SDM dalam menunjang pencapaian perusahaan, dilengkapi dengan alat ukur kuantitatif sebagai  indikator pencapaian sasaran strategis departemen, disertai dengan target yang jelas dan bagaimana inisiatif untuk mencapainya termasuk peta strategi yang bertahap dan jelas.
Ada sebuah contoh, dimana sebuah perusahaan yang konvensional dalam mengukur kinerja departemen SDMnya ketika ada seorang salesman mengundurkan diri yaitu dengan cara mengukur berapa hari yang dibutuhkan untuk mencari pengganti salesman yang baru. Namun dengan adanya paradigma yang baru sebagai “strategic partner” dan bantuan HR scorecard maka ukurannya  mulai diganti dengan “opportunity lost” atau nilai kehilangan  pendapatan perusahaan.  Apa perbedaannya? perbedaannya adalah yang kedua sangat mempedulikan tujuan utama perusahaan “sebagai profit oriented organization”  yang sangat penting untuk mendapatkan revenue, sedangkan yang pertama tidak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar