Paradigma Human Resource (HR) Sesungguhnya
Akhir-akhir ini pembahasan mengenai fungsi HR yang
sesungguhnya cukup menarik. Tentu bagi praktisi dan pelaku di dunia HR memahami
arti dan makna keberadaan HR di tengah perusahaan. Namun mungkin tidak bagi SDM
atau karyawan. Satu sisi pandangan umum karyawan masih melihat HR hanya sebatas
mengelola administrasi, mutasi, penggajian, komisi dan segala hal yang berbau
reward dan punishment. Gambaran ini sampai hari ini pun masih dirasakan oleh
hampir sebagai karyawan di perusahaan-perusahanan tertentu. Saya katakan tidak
semua perusahaan. Toh disaat dunia perlahan-lahan mulai berubah, tentu diikuti
pula dengan perubahan kebijakan untuk serius menggarap HR menjadi tulang
punggung dan jembatan bagi karyawannya.
Bagi perusahaan yang melihat sebuah perubahan sebagai
langkah lebih maju, maka HR menjadi salah satu cara melihat begitu banyaknya
talent maupun potensi yang bisa dikembangkan dari karyawan. Tetapi bagi
perusahaan yang masih terperangkap dalam paradigm lama mengenai HR, kemungkinan
besar merefleksikan perilaku sesungguhnya wajah HR. Yaitu dipandang sebagai
department yang senang untuk menjatuhkan kesalahan atau memberikan surat
peringatan (SP). Cara pandang SDM terhadap HR tidak serta merta merupakan
kesalahan karyawan tersebut, melainkan sikap negatif yang tumbuh dari karyawan,
sebenarnya adalah muara dari apa yang HR sendiri lakukan. Kadang orang-orang HR
pun juga timbul prasangka-prasangka yang tidak selamanya benar. Pada akhirnya
perlahan namun pasti sehingga tumbuh suatu gap yang menganga lebar.
Ujung-ujungnya adalah ketidakpercayaan.
Nah ketidak percayaan ini lambat laun menjadi boomerang bagi
perusahaan sendiri. Jadi bagaimanapun perlu komunikasi antara karyawan dengan
HR selayaknya dibangun berdasarkan saling pengertian. Memang tidak mudah
merubah paradigm yang sudah mendarah daging. Barangkali ini menjadi modal untuk
memulai kembali saling kerjasama dan terbuka sehingga bisa menguntungkan kedua
belah pihak. Ya siapa lagi kalau bukan HR yang menjadi tempat berkeluh kesah
karyawan. Ambil contoh seandainya ada keluhan yang muncul dari SDM, maka peran
HR siap untuk menampung dan mengevaluasinya. Bukan malah memberikan cap negatif
kepada SDM yang menyampaikannya. Contoh selain itu adalah mengfungsikan HR
sebagai tempat untuk mengkonsultasikan setiap masalah yang ditemukan dan
membantu menyelesaikannya. Oleh karena itu tugas organisasi lah bagaimana
supaya HR dipribumisasikan sehingga dipandang sebagai perantara bagi
terciptanya hubungan positif antara SDM dan Manajemen. Banyak sisi positif bisa
diperoleh dari pengelolaan HR yang baik tentunya. Tinggal bagaimana saat ini,
menguraikan terlebih dahulu tujuan dan fungsi serta manfaat yang diperoleh bagi
SDM. Tentu gambaran konvensional HR pelan-pelan mulai di
sosialisasikan kepada
SDM. Pointnya dimulai dari
- Membangun kesepakatan bersama antara manajemen (owner)
untuk tujuan dan keberadaan HR
- Mensosialisasikan paradigm baru kepada SDM
- Menciptakan suasana terbuka, agar SDM senantiasa antusias
untuk mensharingkan dan menyelesaikan setiap masalah yang ada
- Membuat aktifitas di luar kantor sehingga menciptakan
suasana akrab dan menghilangkan prasangka-prasangka negatif keduanya seperti
gathering dsbnya.
- Menciptakan value service supaya dipahami oleh semua
pihak. Harus diingat bahwa kehadiran kita di dalam organisasi adalah saling
melayani. HR melayani SDM begitupun sebaliknya.
- Setiap orang yang ada di dalam HR dibekali mindset bahwa
HR memunyai tugas bukan saja admisnistratif melainkan strategis. Memunyai
posisi yang penting di tengah organisasi. Yaitu mengelola, menganalisa,
menemukan talent dan mengembangkannya.
Dimuat dimajalah MDI News Oktober 2013
Sebuah contoh perbaikan paradigma telah dilakukan oleh
sebuah perusahaan retail, Sears yang telah menyatakan visinya dengan
inspiratif. Bagi Sears untuk menjadi tempat yang sulit ditolak investor,
perusahaan mula-mula harus menjadi tempat berbelanja yang sulit ditolak. Agar
menjadi tempat berbelanja yang sulit ditolak perusahaan harus menjadi
tempat bekerja yang sulit ditolak. Jadi bagi Sears menjadi perusahaan tempat
bekerja yang sulit ditolak merupakan sarana untuk menjadi perusahaan yang sulit
ditolak Investor. Beberapa perusahaan – perusahaan blue chip di
Indonesia telah lama menempatkan SDM sebagai sebuah aset, sebutlah sebuah grup
Astra. Salah satu faktor utama yang menjadi kunci sukses perusahaan
adalah bagaimana mengelola intangible asset tersebut menjadi sebuah tangible
asset. Namun mengelola intangible asset menjadi sebuah tangible
asset bukanlah sesuatu yang mudah.
Dave Ulrich salah satu Guru manajemen SDM mengatakan bahwa
hal pertama yang paling penting adalah mengubah paradigma tentang peran
Departemen SDM. Peran departemen SDM sudah harus melakukan pergeseran dari
peran tradisional yang hanya sebagai “administrasi ekspert” atau
pengelola fungsi-fungsi administrasi SDM, menjadi peran yang lebih tinggi lagi
yaitu sebagai “strategic partner”, atau partner perusahaan dalam
mengelola strategi. Dengan adanya peran baru tersebut diperlukan sebuah
penyelarasan. Departemen SDM tidak hanya dituntut untuk mengelola fungsi-fungsi
departemen SDM saja, tetapi juga harus mengetahui arah dan strategi perusahaan
serta hubungan antara fungsi-fungsi SDM secara langsung dengan strategi dan
tujuan perusahaan tersebut sehingga dapat menyelaraskan kebutuhan perusahaan
untuk mengeksekusi strateginya dengan fungsi-fungsi departemen SDM.
Peran dan fungsi sebagai “strategic partner”, yaitu menelaah
keterkaitan antara strategi perusahaan dengan fungsi-fungsi yang bisa dilakukan
oleh divisi SDM, memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pencapaian
kinerja perusahaan secara sistematis melalui alat yang terukur. Bagi
perusahaan yang telah mengimplementasikan “Balanced Scorecard”, membuat alat
ukur kinerja divisi SDM atau HR Scorecard yang berkaitan langsung dengan
kinerja perusahaan adalah keharusan. HR Scorecard menggambarkan bagaimana
peta strategi departemen SDM dalam menunjang pencapaian perusahaan, dilengkapi
dengan alat ukur kuantitatif sebagai indikator pencapaian sasaran
strategis departemen, disertai dengan target yang jelas dan bagaimana inisiatif
untuk mencapainya termasuk peta strategi yang bertahap dan jelas.
Ada sebuah contoh, dimana sebuah perusahaan yang
konvensional dalam mengukur kinerja departemen SDMnya ketika ada seorang salesman
mengundurkan diri yaitu dengan cara mengukur berapa hari yang dibutuhkan untuk
mencari pengganti salesman yang baru. Namun dengan adanya paradigma yang
baru sebagai “strategic partner” dan bantuan HR scorecard maka ukurannya
mulai diganti dengan “opportunity lost” atau nilai kehilangan pendapatan
perusahaan. Apa perbedaannya? perbedaannya adalah yang kedua sangat
mempedulikan tujuan utama perusahaan “sebagai profit oriented
organization” yang sangat penting untuk mendapatkan revenue, sedangkan
yang pertama tidak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar